KUTU DESA DAN PILKADES

Menceritakan Tentang opini penulis terkait Pilkjades...

Di saat saya bangun tidur, kepala terasa begitu gatal, tanpa sadar kuku jemariku menggaruk tanpa ampun, sungguh terasa nikmat, ibarat pejabat yang korup tapi tak ketahuan hehe, dan sayangnya kenikmatan itu hanya sebentar selesai itu kepala terasa nyeri wajarlah garukanku terlalu keras. Pagi itu saya begitu terganggu dengan kutu dikepala ini.

timbul dalam benak ini, kenapa kutu berbuat seenak jidatnya tanpa memperhatikan kepala majikannya? Saya baru sadar jika kutu adalah parasit yang merupakan organisme yang hidup pada atau di dalam mahluk hidup lainnya dengan menyerap nutrisi, tanpa memberi bantuan atau manfaat lain padanya.

Sejak itu saya mulai sadar jika di desa-desa banyak sekali jenis orang yang memiliki karakter seperti kutu tersebut.

Lantas apa hubungannya dengan pilkades? Baiklah sebelum saya berbicara hubungan keduanya kita perlu tahu apa itu pilkades, pilkades merupakan puncak pergulatan politik para elit desa untuk merebut maupun mempertahankan jabatan kepala desa. bahka tak jarang masyarakat bawah yang menjadi korban adanya pesta demokrasi desa tersebut. Loh kok bisa? Iya bisalah, coba kamu hitung berapa banyak warga yang awalnya hidup rukun dan damai, usai pilkades menjadi buas layaknya singa dan srigala yang ingin saling memangsa satu sama lainnya. banyak bukan?

Lah, kalau begitu kenapa orang-orang ingin bertarung dalam kontes politik tersebut?Pertanyaanmu lo tak berbobot. Jelaslah mereka ingin menjadi kepala desa, pertama, menjadi kepala desa (klebun) akan dihormati oleh banyak orang,  kenapa demikian? Iya, karena ketika butuh sesuatu pasti muaranya ke mereka. Mereka merupakan poros pertama eksekutif yang dibangun dalam negara demokrasi ini.

Kedua, desa di era sekarang ini memiliki kucuran dana yang tidak main-main, ratusan hingga miliyaran rupiah setiap tahunnya. Dana itu kalau kau buat beli cendol banjir daerahmu hehe.., berarti mereka ingin korupsi dana itu? Wah, jangan su’udzon dulu belum tentu mereka begitu, kalau saya berpandangan begini, mereka ingin menjadi kepala desa agar bisa memanfaatkan dana itu, untuk dijadikannya desa yang maju, contohnya seperti kepala Desa Ponggok Klaten Jawa Tengah yang mampu menyulap desanya menjadi salah satu desa terkaya di Indonesia. Apa mungkin seperti itu? Mungkin saja begitu, tapi banyak juga Kepala desa yang terjerat kasus korupsi sih, hehe.

Ketiga, Alasan terakhir kenapa mereka ingin berkontestasi, karena negara kita adalah negara demokrasi, di negara demokrasi setiap orang berhak mencalonkan diri sebagai kepala desa, atau bahkan presiden. kalau desa yang tidak memiliki calon alias tunggal, yang ujung-ujungnya menggunakan colon bayangan apakah itu termasuk demokrasi? Jika hal itu terjadi karena keinginan mayoritas rakyatnya kenapa bukan? Dalam negara demokrasi bentuk pemerintahannya menyamakan hak warga negaranya dalam mengambil keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Beda cerita kalau rakyatnya dibungkam sehingga tak berani maju itu namanya ‘politik tahi kucing’.

Sudahlah tak usah melebar kemana-mana, kita fokus ke kutu desa sama pilkades saja. Kutu desa merupakan mahluk yang hadirnya hanya sebagai pengusik, bahkan perusak tanpa memberi konstribusi nyata pada desa. Siapakah yang anda maksut kutu desa tersebut? siapa saja bisa menjadi kutu, termasuk diri saya. tapi dalam tulisan ini saya akan membaginya menjadi tiga elemen, selebihnya anda tambahkan sendiri saja, hehe. 

Pertama adalah masyarakat. Loh, kok masyarakat? Diamlah dulu, banyak kita jumpai menjelang pemilihan baik kepala desa bahkan presiden, masyarakat yang memiliki mental pengemis, kalau tidak ada uang tidak mau datang nyoblos. Akhirnya para calon berlomba-lomba meramaikan money politic yang ujung-ujungnya mereka korupsi untuk mengembalikan modalnya selama masa pencalonan. 

Kedua adalah Calon kepala desa sendiri. Jangan tanya kenapa begitu, terkadang seseorang mencalonkan kepala desa karena tergiur dengan dana desa yang melimpah, bukan untuk menyejahterakan desanya malah memperkaya diri dan keluarganya. Masak mereka seperti itu? Mungkin saja begitu bukan?

Terakhir adalah tokoh masyarakat. ketika kita bicara politik maka kita akan berbicara keberpihakan pada salah satu calon, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. terkadang seorang tokoh karena berpihak pada calon yang kalah biasanya merasa tidak dihargai yang akhirnya enggan untuk membantu masyarakat yang dianggap tidak ikut dengannya. Kalau sudah seperti itu mau jadi apa desa? Berdoa saja semoga tidak terjadi hal semacam itu.

Sudah saatnya kita berubah, sudah tidak musim bermusuhan dengan tetangga bahkan keluarga sendiri karena pilkades, sudah waktunya kita dewasa dalam berpolitik yakni, memihak sebelum dan waktu pelaksanaan pemilu namun setalah itu siapapun yang terpilih marilah kita dukung bersama supaya desa-desa semakin maju. Kehancuran sebuah desa diawali oleh gigitan kutu-kutu desa di saat pilkades. 


-Bung Darsam-